Selasa, 01 November 2011

asas kurikulum


Bab I
Pendahuluan
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam sistem pendidikan, sebab dalam kurikulum bukan hanya dirumuskan tentang tujuan yang harus dicapai sehingga memperjelas arah pendidikan, akan tetapi juga memberikan pemahaman tentang pengamalan belajar yang harus dimiliki setiap siswa. Oleh karena begitu pentingnya fungsi peran kurikulum, maka setiap penegembangan pada jenjang manapun harus didasarkan pada asas-asas tertentu.
Fungsi asas atau landasan penegembangan kurikulum adalah seperti fondasi sebuah bangunan. Apa yang akan terjadi seandainya sebuah gedung yang menjulang tinggi berdiri di atas fondasi rapuh? Ya tentu saja bangunan itu tidak akan bertahan lama. Oleh sebab itu, sebelum gedung dibangun, terlebih dahulu disusun fondasi yang kukuh. Semakin kukuh fondasi sebuah gedung, maka akan semakin kukuh pula gedung tersebut. Akan tetapi kita lihat di Indonesia, menjadi pertanyaan besar apakah hal ini dijadikan sebagai syarat utama ketika mengembangkan kurikulum?














BAB II
Pembahasan

A. Pengertian Kurikulum.
Berbagai ragam pengertian kurikulum diberikan, khususnya oleh pakar yang berkompeten dalam bidang tersebut. Secara bahasa kurikulum berasal dari bahasa Yunani currere yang berarti jarak tempuh lari. Dalam olah raga lari tentunya ada jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari dari dia memulai start sampai dia mencapai finish. Jarak tempuh inilah yang disebut currere. Dalam bahasa Inggris menjadi curriculum. Istilah ini kemudian mulai digunakan dalam dunia pendidikan. Dalam pendidikan, kurikulum merupakan unsur yang penting.
Tujuan pendidikan tidak akan tercapai tanpa adanya kurikulum yang baik. Mengingat pentingnya kurikulum, maka kurikulum perlu dipahami dengan baik oleh semua pelaksana pendidikan. Beragam pengertian kurikulum yang ada menurut Muh. Ali dapat dikategorikan dalam tiga kategori, yaitu:
1. Kurikulum diartikan sebagai rencana pelajaran / bahan ajaran.
2. Kurikulum diartikan sebagai pengalaman belajar yang diperoleh siswa di sekolah.
3. Kurikulum diartikan sebagai rencana belajar siswa.
[1]Sedangkan menurut Oemar Hamalik “Kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh murid untuk memperoleh ijazah”.
[2] Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan yang terdapat dalam Undang-Undang RI no 20 tahun 2003 bab 1 pasal 1 No: 19 yang menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pengajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar”.
[3]Dengan demikian kurikulum adalah suatu bahan tertulis yang berisi tentang program pendidikan suatu sekolah yang harus dilaksanakan dari tahun ke tahun dan yang digunakan dalam melaksanakan pengajaran.


B.       Hakikat Pengembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam sistem pendidikan, sebab dalam kurikulum bukan hanya dirumuskan tentang tujuan yang harus dicapai sehingga memperjelas arah pendidikan, akan tetapi juga memberikan pemahaman tentang pengamalan belajar yang harus dimiliki setiap siswa. Oleh karena begitu pentingnya fungsi peran kurikulum, maka setiap penegembangan pada jenjang manapun harus didasarkan pada asas-asas tertentu.[1]
Fungsi asas atau landasan penegembangan kurikulum adalah seperti fondasi sebuah bangunan. Apa yang akan terjadi seandainya sebuah gedung yang menjulang tinggi berdiri di atas fondasi rapuh? Ya tentu saja bangunan itu tidak akan bertahan lama. Oleh sebab itu, sebelum gedung dibangun, terlebih dahulu disusun fondasi yang kukuh. Semakin kukuh fondasi sebuah gedung, maka akan semakin kukuh pula gedung tersebut. Akan tetapi kita lihat di Indonesia, menjadi pertanyaan besar apakah hal ini dijadikan sebagai syarat utama ketika mengembangkan kurikulum?
Kurikulum mengalami perubahan sesuai dengan berkembangnya zaman. Di Indonesia, kurikulum sudah mengalami perubahan beberapa kali. Kurikulum di Indonesia diberi nama sesuai dengan tahun mulai berlakunya. Misalnya kurikulum 1975, 1984, 1994, 2004, dan yang termutakhir adalah kurikulum 2006 yang juga disebut KTSP. Akan tetapi pengembangan kurikulum, jika kita lihat dilapangan khususnya di desa, maka akan terdengar statement bahwa kurikulum 2006 (KBK) belum dipahami sepenuhnya, sudah muncul kurikulum baru[2] (yakni KTSP). Hal ini sebuah realitas yang tak bisa kita ingkari, akan tetapi penyebab dari permasalahan ini bisa jadi dari pemerintah ataupun orang yang terlibat dalam pendidikan.
Layaknya membangun sebuah gedung, maka menyusun sebuah kurikulum juga harus didasarkan pada fondasi yang kuat. Kesalahan menentukan dan menyusun kurikulum berarti kesalahan dalam menentukan kebijakan dan implementasi pendidikan. apa yang akan terjadi seandainya terdapat kekeliruan dalam menetukan kebijakan dan mengimplementasikan sistem pendidikan?
Penegembangan kurikulum pada hakikatnya proses penyusunan rencana tentang isi dan bahan pelajaran yang harus dipelajari sertabagaimana cara mempelajrinya. Namun demikian, persoalan mengemabangkan isi dan bahan pelajaran serta bagaimana cara belajar siswa bukanlah suatu proses yang sederhana, sebab menentukan isi atau muatan kurikulum harus berangkat dari visi, misi, serta tujuan yang ingin dicapai; sedangkan menentukan tujuan erat kaitannya dengan persoalan sistem nilai dan kebutuhan masyarakt. Persoalan inilah yang kemudian membawa kita pada persoalan menentukan hal-hal yang mendasar dalam proses pengembangan kurikulum yang kemudian kita namakan asas-asas atau landasan pengembangan kurikulum.
C.       Asas-Asas Pengembangan Kurikulum
Guru, sebagai pengembang kurikulum dalam skala mikro, perlu memahami kurikulum dan asas-asas yang mendasarinya. Karena guru mempunyai peran sentral dalam mencerdaskan kehidupan bangsa atau guru sebagai agen pembelajaran.[3]
Karena kita ketahui bersama asas merupakan pondasi (landasan), sehingga hal ini sangat urgen untuk kita ketahui. Terlebih lagi hal ini merupakan kritik sosial buat pemerintah apakah yang selama ini mereka sajikan (kurikulum) mempunyai relevan dengan keempat asas ini atau tidak relevan. Sehingga kita mengetahui, pertama apakah memang kurikulum yang selama ini kita pakai sesuai dengan tujuan Negara (asas filosofi), kedua apakah sejalan dengan kebutuhan manusia (asas psikologi), ketiga apakah sesuai dengan perkembangan, perubahan, kebudayaan dan keadaan masyarakat kita (asas sosiolgis), apakah sesuai dengan bentuk dan organisasi bahan pelajaran yang disajikan (asas organisatoris)[4] dan yang terakhir adalah apakah sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi (asas teknologi).[5]
Pada kesempatan ini penulis akan menjelaskan keempat asas diatas yakni asas filosofi, asas psikologi, asas sosiolgis, dan asas teknologi sebagai berikut.
1. Asas Filosofis
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu: philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahsa Yunani: philosophia, yang terdiri dari atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi, secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijakasanaan atau kebenaran (love of wisdom). Orangnya disebut filosof yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.[6] Ada pula yang mengartikan filsafat sebenarnya adalah cinta akan kebenaran, yang merupakan rangkaian dari dua kata philo (cinta) dan shopia (kebijakan).[7]
Sebagai induk dari semua pengetahuan, filsafat dapat dirumuskan sebagai kajian tentang ; metafisika yang membahas segala yang ada di alam ini, epistemologi yang membahas kebenaran, dan axiology,yang membahas nilai.Apabila diamati dari unsur-unsur tersebut, tampaknya filsafat mempunyai jangkauan kajian yang sangat luas. Bagi pengembang kurikulum, dengan memiliki pengetahuan filsafat maka akan memberikan dasar yang kuat untuk mengambil suatu keputusan yang tepat dan konsisten. Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk masalah-masalah pendidikan ini yang disebut filsafat pendidikan. Walaupun dilihat sepintas filsafat pendidikan ini hanya merupakan aplikasi dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan, tetapi antara keduanya, yaitu filsafat dan pendidikan terdapat hubungan yang sangat erat. Menurut Donald Butler, filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktek pendidikan sedangkan praktek pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan filosofis.[8]
Namun suatu hal yang perlu diperhatikan oleh pengembang kurikulum adalah bahwa pengembang kurikulum tidak bisa hanya menonjolkan filsafat pribadinya, tetapi juga perlu mempertimbangkan filsafat yang lain, antara lain falsafah negara dan falsafah lembaga pendidikan. Setiap negara pasti mempunyai suatu falsafah atau pandangan pokok mengenai pendidikan. Di Indonesia landasan filosofisnya adalah Pancasila. Seperti dinyatakan dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1968, Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia dan negara kita.Tiap lembaga pendidikan mempunyai misi dalam rangka bagian dari pendidikan nasional. Falsafah suatu lembaga pendidikan (Universitas, IAIN, UIN, STAIN, Akademi maupun Sekolah). Hal inilah yang terkadang pengembang kurikulum “kecolongan” dalam arti kurang memperhatikan, sehingga apa yang mereka sajikan kadang-kadang tidak sesuai keinginan si pemakai kurikulum tersebut (misalnya guru, dosen dan mahasiswa). Hal ini bisa kita lihat realitas yang terjadi dilembaga-lembag pendidikan di Indonesia.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kebanyakan lembaga-lembaga pendidikan jarang membuat falsafah lembaganya secara tertulis. Falsafah yang dimaksudkan disini adalah mencakup, Pertama alasan rasional mengenai eksistensi lembaga pendidikan itu. Kedua, prinsip-prinsip pokok yang mendasarinya. Ketiga,  nilai-nilai dan prinsip yang dijunjung tinggi, dan yang keempat prinsip-prinsip pendidikan mengenai anak, hakikat proses belajar mengajar dan hakikat pengetahuan.[9]
Umumnya sekolah bertujuan mendidik anak agar menjadi manusia yang “baik”. Faktor “baik” tidak hanya ditentukan oleh nilai-nilai, cita-cita, atau filsafat yang dianut sebuah negara, tetapi juga oleh guru, orang tua, masyarakat, bahkan dunia. Kurikulum mempunyai hubungan yang erat dengan filsafat suatu bangsa, terutama dalam menentukan manusia yang dicita-citakan sebagai tujuan yang harus dicapai melalui pendidikan formal. Kurikulum yang dikembangkan harus mampu menjamin terwujudnya tujuan pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Asas filosofis berkenaan dengan tujuan pendidikan yang sesuai dengan filsafat negara. Perbedaan filsafat suatu negara menimbulkan implikasi yang berbeda di dalam merumuskan tujuan pendidikan, menentukan bahan pelajaran dan tata cara mengajarkan, serta menentukan cara-cara evaluasi yang ditempuh. Apabila pemerintah bertukar, tujuan pendidikan akan berubah sama sekali. Di Indonesia, penyusunan, pengembangan, dan pelaksanaan kurikulum harus memperhatikan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai landasan filosofis negara.
Mengapa filsafat sangat diperlukan dalam dunia pendidikan? Menurut Nasution, filsafat besar manfaatnya bagi kurikulum, yakni:[10]
  • Filsafat pendidikan menentukan arah ke mana anak-anak harus dibimbing. Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan oleh masyarakat untuk mendidik anak menjadi manusia dan warga negara yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Jadi, filsafat menentukan tujuan pendidikan.
  • Dengan adanya tujuan pendidikan ada gambaran yang jelas tentang hasil pendidikan yang harus dicapai, manusia yang bagaimana yang harus dibentuk.
  • Filsafat juga menentukan cara dan proses yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan itu.
  • Filsafat memberikan kebulatan kepada usaha pendidikan, sehingga tidak lepas-lepas. Dengan demikian terdapat kontinuitas dalam perkembangan anak.
  • Tujuan pendidikan memberikan petunjuk apa yang harus dinilai dan hingga mana tujuan itu telah tercapai.
  • Tujuan pendidikan memberi motivasi dalam proses belajar-mengajar, bila jelas diketahui apa yang ingin dicapai.
Menurut Bloom, tujuan pendidikan dapat digolongkan kedalam tiga klasifikasi atau tiga domain (bidang), yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.[11] Domain kognitif berhubungan dengan pengembangan intelektual atau kecerdasan. Bidang afektif berhubungan dengan penegmbangan sikap dan bidang psikomotorik berhubungan dengan keterampilan. Setiap Negara atau masyarakat akan memakanai ketiga bidang pengembanagn itu sesuai dengan sistem nilai yang berlaku. Demikina juga halnya Indonesia. Sebagai suatu bangsa yang memiliki sistem nilai sendiri, yakni Pancasila, maka ketiga bidang itu mestinya dibingkai oleh kebenaran dan nilai-nilai pancasila. Kecerdasan yang harus dikembangkan, sikap yang harus ditanamkan, dan keterampilan yang harus dikuasai oleh setiap anaka didik kita tidak terlepas dari nilai-nilai pancasila. Dengan demikian sebagai sistem nilai, Pancasila menjadi bingkai dari tujuan pelasanaan pendidikan. 
2. Asas Psikologi
1)      Psikologi Anak
Sekolah didirikan untuk anak, untuk kepentingan anak, yakni menciptakan situasi-situasi yang memungkinkan anak dapat belajar mengembangkan bakatnya[12]. Selama berabad-abad, anak tidak dipandang sebagai manusia yang lain daripada orang dewasa dan karena itu mempunyai kebutuhan sendiri sesuai dengan perkembangannya. Hal ini tampak dari kurikulum yang mengutamakan bahan, sedangkan anak “dipaksa” menyesuaikan diri dengan bahan tersebut dengan segala kesulitannya. Padahal anak mempunyai kebutuhan sendiri sesuai dengan perkembangannya. Pada permulaan abad ke -20, anak kian mendapat perhatian menjadi salah satu asas dalam pengembangan kurikulum. Kemudian muncullah aliran progresif, yakni kurikulum yang semata-mata didasarkan atas minat dan perkembangan anak (child centered curiculum). Kurikulum ini dapat diapandang sebagai reaksi terhadap kurikulum yang diperlukan orang dewasa tanpa menghiraukan kebutuhan anak. Namun gerakan ini tak dapat tiada menarik perhatian para pendidik, khususnya para pengembang kurikulum untuk selalu menjadikan anak sebagai salah satu pokok pemikiran.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum adalah[13]
  • Anak bukan miniatur orang dewasa
  • Fungsi sekolah di antaranya mengembangkan pribadi anak seutuhnya.
  • Faktor anak harus benar-benar diperhatikan dalam pengembangan kurikulum
  • Anak harus menjadi pusat pendidikan/sebagai subjek belajar dan bukan objek belajar.
  • Tiap anak unik, mempunyai ciri-ciri tersendiri, lain dari yang lain. Kurikulum hendaknya mempertimbangkan keunikan anak agar ia sedapat mungkin berkembang sesuai dengan bakatnya.
  • Walaupun tiap anak berbeda dari yang lain, banyak pula persamaan di antara mereka. Maka sebagian dari kurikulum dapat sama bagi semua. 
2)      Psikologi Belajar
Pendidikan di sekolah diberikan dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa anak-anak dapat dididik, dpat dipengaruhi kelakuannya. Anak-anak dapat belajar, dapat menguasai sejumlah pengetahuan, mengubah sikapnya, menerima norma-norma, menguasai sejumlah keterampilan. Soal yang penting ialah: bagaimana anak itu belajar? Kalau kita tahu betul bagaimana proses belajar berlangsung, dalam keadaan yang bagaimana belajar itu memberikan hasil sebaik-baiknya, maka kurikulum dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan cara seefektif-efektifnya.[14] Sehingga apa yang kita lihat pada umumnya kurikulum itu dijadikan sebagi bahan menakutkan buat pengajar dan peserta didik.
Karena belajar merupakan aktivitas seseorang untuk mentransformasikan ilmu (apakah ia dewasa atau anak-anak), dan kita ketahui bersama bahwa belajar itu ternyata suatu proses yang pelik dan kompleks, timbullah berbagai teori belajar yang menunjukkan ketidaksesuaian satu sama lain. Pada umumnya tiap teori mengandung kebenaran. Akan tetapi tidak memberikan gambaran tentang keseluruhan proses belajar. Jadi, yang mencakup segala gejala belajar dari yang sederhana sampai yang paling pelik. Dengan demikian, teori belajar dijadikan dasar pertimbangan dalam pengembangan kurikulum.
Pentingnya penguasaan psikologi belajar dalam pengembangan kurikulum antara lain diperlukan dalam hal:[15]
  • seleksi dan organisasi bahan pelajaran
  • menentukan kegiatan belajar mengajar yang paling serasi
  • merencanakan kondisi belajar yang optimal agar tujuan belajar tercapai.
3. Asas Sosiolgis atau Sosial Budaya
Suatu kurikulum pada prinsipnya mencerminkan keinginan, cita-cita dan kebutuhan masyarakat. Dalam mengambil keputusan tentang kurikulum para pengembang kurikulum hendaknya merujuk pada lingkungan atau dunia dimana mereka tinggal, merespon terhadap berbagai kebutuhan yang dilontarkan atau diusulkan oleh beragam golongan dalam masyarakat. Sangat banyak kebutuhan masyarakat yang harus dipilah-pilah, disaring dan diseleksi agar menjadi suatu keputusan dalam mengembangkan kurikulum
Kompleksitas kehidupan dalam masyarakat disebabkan oleh, Tiga hal :
pertama, Dalam masyarakat terdapat tata kehidupan yang beraneka ragam,
Kedua,Kepentingan antar individu berbeda-beda, dan
Ketiga, Masyarakat selalu mengalami perkembangan.
Mendidik peserta didik dengan baik hanya mungkin jika kita memahami masyarakat tempat ia hidup. Peserta didik tidak hidup sendiri terisolasi dari manusia lain. Ia selalu hidup dalam suatu masyarakat. Di situ, ia harus memenuhi tugas-tugas yang harus dilakukannya dengan penuh tanggung jawab, baik sebagai anak maupun sebagai orang dewasa kelak. Ia banyak menerima jasa dari masyarakat dan ia sebaliknya harus menyumbangkan baktinya bagi kemajuan masyarakat.
Tiap masyarakat mempunyai norma-norma, adat kebiasaan yang harus dikenal dan diwujudkan anak dalam pribadinya, lalu dinyatakannya dalam kelakuan. Tiap masyarakat berlainan corak nilai-nilai yang dianutnya. Tiap anak akan berbeda latar belakang kebudayaanya. Perbedaan ini harus dipertimbangkan dalam kurikulum. Selain itu, perubahan masyarakat akibat perkembangan iptek merupakan faktor yang benar-benar harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum. Karena masyarakat merupakan faktor penting dalam pengembangan kurikulum, masyarakat dijadikan salah satu asas.
Hal di atas telah dijelaskan bahwa masyarakat pada umumnya mempunyai kondisi sosial yang berbeda, akan tetapi kurikulum yang selama ini dipakai dalam lembaga pendidikan kita “terlau dipaksakan”. Buktinya, ketika di Negara Barat berhasil menerapkan satu kurikulum yang kemudian diiringi dengan keberhasilan, maka dengan sendirinya kurikulum itu menjadi acuan Negara kita atau setidaknya hal itu menjadi contoh, walaupun secara sosiologis atau sosial budaya masyarakatnya tidak sama.


4. Asas Teknologi
Yang dimaksud dengan asas pengembangan ilmu dan teknologi adalah para pengambil kebijakan kurikulum hendaknya memperhatikan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Beberapa masyarakat terpencil yang tertutup, dengan adanya transportasi dan komunikasi yang luas berubah menjadi masyarakat yang terbuka dan mau berkomunikasi dengan daerah-daerah lain. Masyarakat yang tadinya hanya konsumtif terhadap hasil-hasil pertanian telah berubah menjadi masyarakat yang lebih konsumtif terhadap produksi industri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga menimbulkan kebutuhan baru, aspirasi baru, sikap hidup baru. Hal-hal di atas menuntut perubahan pada sistem dan isi pendidikan.
Sehingga, pendidikan bukan hanya mewariskan nilai-nilai dan hasil kebudayaan lama, tetapi juga mempersiapkan generasi muda agar mampu hidup pada masa kini dan masa yang akan datang. Dalam kaitannya dengan pengajaran di Indonesia, maka sudah seyogyanya mulai menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang ada sekarang ini. Sehingga problema kegagalan siswa memperoleh kemampuan aktif ekspresif bisa diatasi.
Namun demikian, segala kemajuan yang telah mampu diraih oleh umat manusia itu, bukan tanpa masalah. Pada kenyataannya terdapat berbagai efek negatif yang justru sangat mencemaskan manusia itu sendiri. Sehingga permasalahan-permasalahan baru ini menyebabkan komplesitas tugas-tugas pendidikan yang diemban oleh sekolah.
Kemajuan dibidang teknologi memiliki andil besar dalam perubahan pola hidup masyarakat. Kenyataan semacam ini memiliki konsekuensi terhadap cara dan strategi yang harus dipersiapkan oleh lembaga pendidikan. Kurikulum harus didesain agar mampu membentuk manusia produktif yang bukan hanya dapat bekerja, akan tetapi lebih jauh dapat mencintai pekerjaan. Manusia yang hanya dapat bekerja berbeda dengan manusia yang mencintai pekerjaan. Manusia yang hanya sekedar dapat bekerja orientasinya biasanya ditunjukkan oleh besar upah yang dapat diterima. manusia semacam ini tidak lebih dari seorang buruh yang bekerja dengan ototnya. Sedangkan manusia yang mencintai pekerjaan orientasinya adalah produk yang dihasilkannya. Manusia yang demikianlah yang dimaksud dengan manusia produktif, yang bekerja bukan hanya dengan ototnya akan tetapi juga dengan ototnya.
5. Asas Organisatoris.
Asas ini berkenaan dengan bentuk dan organisasi bahan pelajaran yang disajikan. Bagaimana bahan pelajaran akan disajikan? Apakah dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, atau bidang studi seperti yang dilaksanakan di Indonesia, ataukah diusahakan adanya hubungan antara pelajaran yang diberikan dengan menghapuskan segala batas-batas mata pelajaran dalam bentuk kurikulum yang terpadu. Hal ini juga muncul dalam Bahasa Arab. Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam pengajaran bahasa Arab. Yang pertama integrated system dan kedua separated system. Untuk me refresh ingatan kita, perlu dijelaskan kembali secara singkat tentang dua pendekatan tersebut. Nadhariyatul Wahdah dimaksudkan agar dalam pembelajaran bahasa kita harus melihat bahasa itu sebagai satu kesatuan yang utuh, bukan sebagai bagian-bagian atau segi-segi yang terpisah dan masing-masing berdiri sendiri. Sedangkan Nadhariyatul Furu’ justru sebaliknya, dalam arti bahasa itu terdiri dari beberapa aspek, baik gramatik, morpologis, sintaksis, semantic, leksikal, stilistik yang harus diajarkan secara terpisah-pisah sesuai dengan cabangnya masing-masing.
Tampaknya landasan organisatoris pengajaran bahasa Arab di Indonesia untuk tingkatan Madrasah Ibtidaiyah sampai dengan Madrasah Aliyah bahkan Perguruan Tinggi (PT) menggunakan pendekatan Nadhariyatul Wahdah. Sehingga pengajaran bahasa Arab disajikan dalam bentuk satu kesatuan bidang studi. Dalam satu kesatuan bidang studi tersebut sudah mencakup materi al-qaidah, al-Qiraah, al-Hiwar, dan Imla’. Sementara untuk jurusan tertentu di perguruan tinggi, seperti Pendidikan Bahasa Arab (PBA) dan Bahasa dan Sastra Arab (BSA) menggunakan pendekatan Nadhariyatul Furu’ di mana materi-materi bahasa Arab disajikan secara terpisah.












Bab III
Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa asas-asas atau landasan kurikulum ada lima, yaitu:1. Asas Filosofis, yaitu suatu asas fundamental yang menentukan ke arah mana tujuan pendidikan hendak diwujudkan. Asas filosofis ini berkaitan dengan falsafah negara, falsafah lembaga pendidikan dan asas filsafat pendidikan. 2. Asas Psikologis, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa kurikulum harus melihat subyek pendidikan adalah manusia yang berbeda dengan mahluk lain karena mempunyai aspek psikologis. Asas Psikologis ini minimal terbagi dalam psikologi perkembangan dan psikologi belajar, karena peserta didik dalam hidupnya berkembang dan belajar. 3. Asas Sosiologis atau Sosial Budaya, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa suatu kurikulum diciptakan harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat pada masa tersebut.4. Asas Organisatoris, yaitu suatu asas yang menyatakan bagaimana nanti bahan pelajaran akan disajikan.5. Asas Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, yaitu asas yang menyatakan bahwa suatu kurikulum harus mampu membekali generasi muda dengan kemampuan hidup di masa kini dan masa akan datang.Kelima asas kurikulum tersebut bisa kita gunakan untuk membaca kurikulum pembelajaran bahasa Arab yang ada pada saat ini, ataupun digunakan untuk merencanakan pengembangan kurikulum yang akan datang.









Daftar Pustaka
Mulyasa E, Standar Kompetensi dan Sertfikasi Guru, Bandung :Remaja Rosdakarya, 2007
Zein, Muhammad , Asas dan Pengembangan Kurikulum, Yogyakarta : Sumbangsih Offset, TTh
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung : Penerbit Remaja Rosdakarya, 2004
S .Nasution, Asas-asas Kurikulum,  Jakarta: Bumi Aksara, 2008
Ibid



[1] Wina Sanja, Kurikulum dan Pemebelajaran: teori dan Praktik Penegembangan Krikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008), hal. 31.
[2] Mulyasa, mengatakan bahwa KTSP adalah kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik. KTSP merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Kurikulum ini dikembangkan berdasarkan Standar isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam Standar Isi merupakan penyempurnaan dari SK dan KD dalam KBK. Dapat diakses melauli jejaring situs http://tonipurwakarta.blogspot.com/2009/01/azas-azas-kurikulum.html
[3] E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertfikasi Guru, (Bandung :Remaja Rosdakarya, 2007) hal. 53-72.
[4] Muhammad Zein, Asas dan Pengembangan Kurikulum, ( Yogyakarta : Sumbangsih Offset, TTh), hal. 20.
[5] Menurut Murray Print asas kurikulum ada empat, tanpa menyertakan landasan organisatoris, lihat dalam Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung : Penerbit Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 56.
[6] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 4 dan liaht pula penjelasan Wina Sanja, Kurikulum dan Pemebelajaran: teori dan Praktik Penegembangan Krikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008), hal. 42.
[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. (Bandung : Penerbit Remaja Rosda Karya, 2001), hal. 9. diakses melauli jejaring situs http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/asas-asas-kurikulum-pengajaran-bahasa-arab-0
[8] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, (cet ke 7, Bandung : Penerbit Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 39-40, ibid
[9] Lihat Sembodo Ardi Widodo, Pengembangan Kurikulum.
[10] S .Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 28.diakses melaui jejaring situs http://tonipurwakarta.blogspot.com/2009/01/azas-azas-kurikulum.html
[11] Wina Sanja, Kurikulum dan Pemebelajaran: teori dan Praktik Penegembangan Krikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008), hal. 45.
[12] Ibid., hal 12.
[14] Lihat S .Nasution, op. cit., hal 12-13.
[15] Ibid., hal 57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar