Rabu, 14 September 2011

akuisisi bahasa


BAB II
PEMBAHASAN
Akuisisi Bahasa Dan Teorinya

1. Proses Pemerolehan Bahasa Pertama
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167).
Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak disadari. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Chaer 2003:167).
Selanjutnya, Chomsky juga beranggapan bahwa pemakai bahasa mengerti struktur dari bahasanya yang membuat dia dapat mengkreasi kalimat-kalimat baru yang tidak terhitung jumlahnya dan membuat dia mengerti kalimat-kalimat tersebut. Jadi, kompetensi adalah pengetahuan intuitif yang dipunyai seorang individu mengenai bahasa ibunya (native languange). Intuisi linguistik ini tidak begitu saja ada, tetapi dikembangkan pada anak sejalan dengan pertumbuhannya, sedangkan performansi adalah sesuatu yang dihasilkan oleh kompetensi.
Hal yang patut dipertanyakan adalah bagaimana strategi si anak dalam memperoleh bahasa pertamanya dan apakah setiap anak memiliki strategi yang sama dalam memperoleh bahsa pertamanya? Berkaitan dengan hal ini, Dardjowidjojo, (2005:243-244) menyebutkan bahwa pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan bahwa anak di mana pun juga memperoleh bahasa pertamanya dengan memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini. Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik: mana yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan wujudnya seperti apa ditentukan oleh input sekitarnya.

2. Tahap-tahap Pemerolehan Bahasa Pertama
Perlu untuk diketahui adalah seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa B1 dalam otaknya dan lengkap dengan semua kaidahnya. B1 diperolehnya dalam beberapa tahap dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari bahasa orang dewasa. Menurut para ahli, tahap-tahap ini sedikit banyaknya ada ciri kesemestaan dalam berbagai bahasa di dunia.
Pengetahuan mengenai pemerolehan bahasa dan tahapnya yang paling pertama di dapat dari buku-buku harian yang disimpan oleh orang tua yang juga peneliti ilmu psikolinguistik. Dalam studi-studi yang lebih mutakhir, pengetahuan ini diperoleh melalui rekaman-rekaman dalam pita rekaman, rekaman video, dan eksperimen-eksperimen yang direncanakan. Ada sementara ahli bahasa yang membagi tahap pemerolehan bahasa ke dalam tahap pralinguistik dan linguistik. Akan tetapi, pendirian ini disanggah oleh banyak orang yang berkata bahwa tahap pralinguistik itu tidak dapat dianggap bahasa yang permulaan karena bunyi-bunyi seperti tangisan dan rengekan dikendalikan oleh rangsangan (stimulus) semata-mata, yaitu respons otomatis anak pada rangsangan lapar, sakit, keinginan untuk digendong, dan perasaan senang. Oleh karena itu, tahap-tahap pemerolehan bahasa yang dibahas dalam makalah ini adalah tahap linguistik yang terdiri atas beberapa tahap, yaitu (1) tahap pengocehan (babbling); (2) tahap satu kata (holofrastis); (3) tahap dua kata; (4) tahap menyerupai telegram (telegraphic speech).
A.     Vokalisasi Bunyi
Pada umur sekitar 6 minggu, bayi mulai mengeluarkan bunyi-bunyi dalam bentuk teriakan, rengekan, dekur. Bunyi yang dikeluarkan oleh bayi mirip dengan bunyi konsonan atau vokal. Akan tetapi, bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena memang belum terdengar dengan jelas. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah bunyi-bunyi yang dihasilkan tadi merupakan bahasa? Fromkin dan Rodman (1993:395) menyebutkan bahwa bunyi tersebut tidak dapat dianggap sebagai bahasa. Sebagian ahli menyebutkan bahwa bunyi yang dihasilkan oleh bayi ini adalah bunyi-bunyi prabahasa/dekur/vokalisasi bahasa/tahap cooing.
Setelah tahap vokalisasi, bayi mulai mengoceh (babling). Celoteh merupakan ujaran yang memiliki suku kata tunggal seperti mu dan da. Adapun umur si bayi mengoceh tak dapat ditentukan dengan pasti. Mar’at (2005:43) menyebutkan bahwa tahap ocehan ini terjadi pada usia antara 5 dan 6 bulan. Dardjowidjojo (2005: 244) menyebutkan bahwa tahap celoteh terjadi sekitar umur 6 bulan. Tidak hanya itu. ada juga sebagian ahli menyebutkan bahwa celoteh terjadi pada umur 8 sampai dengan 10 bulan. Perbedaan pendapat seperti ini dapat saja. Yang perlu diingat bahwa kemampuan anak berceloteh tergantung pada perkembangan neurologi seorang anak.
Pada tahap celoteh ini, anak sudah menghasilkan vokal dan konsonan yang berbeda seperti frikatif dan nasal. Mereka juga mulai mencampur konsonan dengan vokal. Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti dengan vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. dengan demikian, strukturnya adalah K-V. Ciri lain dari celotehan adalah pada usia sekitar 8 bulan, stuktur silabel K-V ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur seperti:
K1 V1 K1 V1 K1 V1…papapa mamama bababa…
Orang tua mengaitkan kata papa dengan ayah dan mama dengan ibu meskipun apa yang ada di benak tidaklah kita ketahui. Tidak mustahil celotehan itu hanyalah sekedar artikulatori belaka (Djardjowidjojo, 2005:245).
Begitu anak melewati periode mengoceh, mereka mulai menguasai segmen-segmen fonetik yang merupakan balok bangunan yang dipergunakan untuk mengucapkan perkataan. Mereka belajar bagaimana mengucapkan sequence of segmen, yaitu silabe-silabe dan kata-kata. Cara anak-anak mencoba menguasai segmen fonetik ini adalah dengan menggunakan teori hypothesis-testing (Clark & Clark dalam Mar’at 2005:43). Menurut teori ini anak-anak menguji coba berbagai hipotesis tentang bagaimana mencoba memproduksi bunyi yang benar.
Pada tahap-tahap permulaan pemerolehan bahasa, biasanya anak-anak memproduksi perkataan orang dewasa yang disederhanakan sebagai berikut:
(1) menghilangkan konsonan akhir
blumen bu
(2) mengurangi kelompok konsonan menjadi segmen tunggal:
batre bate
(3) menghilangkan silabel yang tidak diberi tekanan
semut emut
(4) reduplikasi silabel yang sederhana
nakal kakal
Menurut beberapa hipotesis, penyederhanaan ini disebabkan oleh memory span yang terbatas, kemampuan representasi yang terbatas, kepandaian artikulasi yang terbatas (Mar’at 2005:46-47).
Apakah tahap celoteh ini penting bagi si anak. Jawabannya tentu saja penting. Tahap celoteh ini penting artinya karena anak mulai belajar menggunakan bunyi-bunyi ujaran yang benar dan membuang bunyi ujaran yang salah. Dalam tahap ini anak mulai menirukan pola-pola intonasi kalimat yang diucapkan oleh orang dewasa.
B.     Tahap Satu-Kata atau Holofrastis
Tahap ini berlangsung ketika anak berusia antara 12 dan 18 bulan. Ujaran-ujaran yang mengandung kata-kata tunggal diucapkan anak untuk mengacu pada benda-benda yang dijumpai sehari-hari. Pada tahap ini pula seorang anak mulai menggunakan serangkaian bunyi berulang-ulang untuk makna yang sama. pada usia ini pula, sang anak sudah mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna dan mulai mengucapkan kata-kata yang pertama. Itulah sebabnya tahap ini disebut tahap satu kata satu frase atau kalimat, yang berarti bahwa satu kata yang diucapkan anak itu merupakan satu konsep yang lengkap, misalnya “mam” (Saya minta makan); “pa” (Saya mau papa ada di sini), “Ma” (Saya mau mama ada di sini).
Mula-mula, kata-kata itu diucapkan anak itu kalau rangsangan ada di situ, tetapi sesudah lebih dari satu tahun, “pa” berarti juga “Di mana papa?” dan “Ma” dapat juga berarti “Gambar seorang wanita di majalah itu adalah mama”.
Menurut pendapat beberapa peneliti bahasa anak, kata-kata dalam tahap ini mempunyai tiga fungsi, yaitu kata-kata itu dihubungkan dengan perilaku anak itu sendiri atau suatu keinginan untuk suatu perilaku, untuk mengungkapkan suatu perasaan, untuk memberi nama kepada suatu benda. Dalam bentuknya, kata-kata yang diucapkan itu terdiri dari konsonan-konsonan yang mudah dilafalkan seperti m,p,s,k dan vokal-vokal seperti a,i,u,e.

C.     Tahap Dua-Kata, Satu Frase
Tahap ini berlangsung ketika anak berusia 18-20 bulan. Ujaran-ujaran yang terdiri atas dua kata mulai muncul seperti mama mam dan papa ikut. Kalau pada tahap holofrastis ujaran yang diucapkan si anak belum tentu dapat ditentukan makna, pada tahap dua kata ini, ujaran si anak harus ditafsirkan sesuai dengan konteksnya. Pada tahap ini pula anak sudah mulai berpikir secara “subjek + predikat” meskipun hubungan-hubungan seperti infleksi, kata ganti orang dan jamak belum dapat digunakan. Dalam pikiran anak itu, subjek + predikat dapat terdiri atas kata benda + kata benda, seperti “Ani mainan” yang berarti “Ani sedang bermain dengan mainan” atau kata sifat + kata benda, seperti “kotor patu” yang artinya “Sepatu ini kotor” dan sebagainya.

D.    Ujaran Telegrafis
Pada usia 2 dan 3 tahun, anak mulai menghasilkan ujaran kata-ganda (multiple-word utterances) atau disebut juga ujaran telegrafis. Anak juga sudah mampu membentuk kalimat dan mengurutkan bentuk-bentuk itu dengan benar. Kosakata anak berkembang dengan pesat mencapai beratus-ratus kata dan cara pengucapan kata-kata semakin mirip dengan bahasa orang dewasa. Contoh dalam tahap ini diberikan oleh Fromkin dan Rodman.
“Cat stand up table” (Kucing berdiri di atas meja);
What that?” (Apa itu?);
He play little tune” (dia memainkan lagu pendek);
Andrew want that” (Saya, yang bernama Andrew, menginginkan itu);
No sit here” (Jangan duduk di sini!)
Pada usia dini dan seterusnya, seorang anak belajar B1-nya secara bertahap dengan caranya sendiri. Ada teori yang mengatakan bahwa seorang anak dari usia dini belajar bahasa dengan cara menirukan. Namun, Fromkin dan Rodman (1993:403) menyebutkan hasil peniruan yang dilakukan oleh si anak tidak akan sama seperti yang diinginkan oleh orang dewasa. Jika orang dewasa meminta sang anak untuk menyebutkan “He’s going out”, si anak akan melafalkan dengan “He go out”. Ada lagi teori yang mengatakan bahwa seorang anak belajar dengan cara penguatan (reinforcement), artinya kalau seorang anak belajar ujaran-ujaran yang benar, ia mendapat penguatan dalam bentuk pujian, misalnya bagus, pandai, dsb. Akan tetapi, jika ujaran-ujarannya salah, ia mendapat “penguatan negatif”, misalnya lagi, salah, tidak baik. Pandangan ini berasumsi bahwa anak itu harus terus menerus diperbaiki bahasanya kalau salah dan dipuji jika ujarannya itu benar.
Teori ini tampaknya belum dapat diterima seratus persen oleh para ahli psikologi dan ahli psikolinguistik. Yang benar ialah seorang anak membentuk aturan-aturan dan menyusun tata bahasa sendiri. Tidak semua anak menunjukkan kemajuan-kemajuan yang sama meskipun semuanya menunjukkan kemajuan-kemajuan yang reguler.
Selain tahap pemerolehan bahasa yang disebutkan di atas, ada juga para ahli bahasa seperti Aitchison mengemukakan beberapa tahap pemerolehan bahasa anak.

Ø  1: Mendengkur
Tahap ini mulai berlangsung pada anak usia sekitar enam minggu. Bunyi yang dihasilkan mirip dengan vokal tetapi tidak sama dengan bunyi vokal orang dewasa.

Ø  2: Meraban
Tahap ini berlangsung ketika usia anak mendekati enam bulan. Tahap meraban merupakan pelatihan bagi alat-alat ucap. Vokal dan konsonan dihasilkan secara serentak.

Ø  3: Pola intonasi
Anak mulai menirukan pola-pola intonasi. Tuturan yang dihasilkan mirip dengan yang diucapkan ibunya.

Ø  4: Tuturan satu kata
Pada umur satu tahun sampai delapan belas bulan anak mulai mengucapkan tuturan satu kata. Pada usia ini anak memperoleh sekitar lima belas kata meliputi nama orang, binatang, dan lain-lain.

Ø  5: Tuturan dua kata
Umumnya pada usia dua setengah tahun anak sudah menguasai beberapa ratus kata. Tuturan hanya terdiri atas dua kata.



Ø  6: Infleksi kata
Kata-kata yang dianggap remeh dan infleksi mulai digunakan. Dalam bahasa Indonesia yang tidak mengenal istilah infleksi, mungkin berwujud pemerolehan bentuk-bentuk derivasi, misalnya kata kerja yang mengandung awalan atau akhiran.

Ø  7: Bentuk Tanya dan bentuk ingkar
Anak mulai memperoleh kalimat tanya dengan kata tanya seperti apa, siapa, kapan, dan sebagainya. Di samping itu anak juga sudah mengenal bentuk ingkar.

Ø  8: Konstruksi yang jarang atau kompleks
Anak sudah mulai berusaha menafsirkan meskipun penafsirannya dilakukan secara keliru. Anak juga memperoleh kalimat dengan struktur yang rumit, seperti pemerolehan kalimat majemuk.

Ø  9: Tuturan yang matang
Pada tahap ini anak sudah dapat menghasilkan kalimat-kalimat seperti orang dewasa.
3. Proses Perkembangan Bahasa Anak
  1. Fonologi
Anak menggunakan bunyi-bunyi yang telah dipelajarinya dengan bunyi-bunyi yang belum dipelajari, misalnya menggantikan bunyi /l/ yang sudah dipelajari dengan bunyi /r/ yang belum dipelajari. Pada akhir periode berceloteh, anak sudah mampu mengendalikan intonasi, modulasi nada, dan kontur bahasa yang dipelajarinya.

  1.  Morfologi
Pada usia 3 tahun anak sudah membentuk beberapa morfem yang menunjukkan fungsi gramatikal nomina dan verba yang digunakan. Kesalahan gramatika sering terjadi pada tahap ini karena anak masih berusaha mengatakan apa yang ingin dia sampaikan. Anak terus memperbaiki bahasanya sampai usia sepuluh tahun.

  1. Sintaksis
Alamsyah (2007:21) menyebutkan bahwa anak-anak mengembangkan tingkat gramatikal kalimat yang dihasilkan melalui beberapa tahap, yaitu melalui peniruan, melalui penggolongan morfem, dan melalui penyusunan dengan cara menempatkan kata-kata secara bersama-sama untuk membentuk kalimat.

  1. Semantik
Anak menggunakan kata-kata tertentu berdasarkan kesamaan gerak, ukuran, dan bentuk. Misalnya, anak sudah mengetahui makna kata jam. Awalnya anak hanya mengacu pada jam tangan orang tuanya, namun kemudian dia memakai kata tersebut untuk semua jenis jam.
4. Teori-teori tentang Pemerolehan Bahasa Pertama
Ø  Teori Behaviorisme
Teori behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response). Perilaku bahasa yang efektif adalah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan jika reaksi tersebut dibenarkan. Dengan demikian, anak belajar bahasa pertamanya.
Sebagai contoh, seorang anak mengucapkan bilangkali untuk barangkali. Sudah pasti si anak akan dikritik oleh ibunya atau siapa saja yang mendengar kata tersebut. Apabila sutu ketika si anak mengucapkan barangkali dengan tepat, dia tidak mendapat kritikan karena pengucapannya sudah benar. Situasi seperti inilah yang dinamakan membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan dan merupakan hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa pertama.
B.F. Skinner adalah tokoh aliran behaviorisme. Dia menulis buku Verbal Behavior (1957) yang digunakan sebagai rujukan bagi pengikut aliran ini. Menurut aliran ini, belajar merupakan hasil faktor eksternal yang dikenakan kepada suatu organisme. Menurut Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak menguntungkan, perilaku itu akan ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada reinforcement yang cocok, perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar.
Namun demikian, banyak kritikan terhadap aliran ini. Chomsky mengatakan bahwa toeri yang berlandaskan conditioning dan reinforcement tidak bisa menjelaskan kalimat-kalimat baru yang diucapkan untuk pertama kali dan inilah yang kita kerjakan tiap hari. Bower dan Hilgard juga menentang aliran ini dengan mengatakan bahwa penelitian mutakhir tidak mendukung aliran ini.
Aliran behaviorisme mengatakan bahwa semua ilmu dapat disederhanakan menjadi hubungan stimulus-response. Hal tersebut tidaklah benar karena tidak semua perilaku berasal dari stimulus-response.
Ø  Teori Nativisme
Chomsky merupakan penganut nativisme. Menurutnya, bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia, binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat Chomsky didasarkan pada beberapa asumsi :
  • Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik), setiap bahasa memiliki pola perkembangan yang sama (merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan memiliki peran kecil di dalam proses pematangan bahasa.
  • Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu yang relatif singkat.
  • Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak dapat menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa.
Menurut aliran ini, bahasa adalah sesuatu yang kompleks dan rumit sehingga mustahil dapat dikuasai dalam waktu yang singkat melalui “peniruan”. Nativisme juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat untuk memperoleh bahasa (language acquisition device, disingkat LAD). Mengenai bahasa apa yang akan diperoleh anak bergantung pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan di lingkungan Amerika sudah pasti bahasa Inggris menjadi bahasa pertamanya.
Semua anak yang normal dapat belajar bahasa apa saja yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Apabila diasingkan sejak lahir, anak ini tidak memperoleh bahasa. Dengan kata lain, LAD tidak mendapat “makanan” sebagaimana biasanya sehingga alat ini tidak bisa mendapat bahasa pertama sebagaimana lazimnya seperti anak yang dipelihara oleh srigala (Baradja, 1990:33).
Tanpa LAD, tidak mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan bisa menguasai sistem bahasa yang rumit. LAD juga memungkinkan seorang anak dapat membedakan bunyi bahasa dan bukan bunyi bahasa.
Ø  Teori Kognitivisme
Menurut teori ini, bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa (Chaer, 2003:223). Hal ini tentu saja berbeda dengan pendapat Chomsky yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga dengan lingkungan berbahasa. Bahasa harus diperoleh secara alamiah.
Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa. Dari lahir sampai 18 bulan, bahasa dianggap belum ada. Anak hanya memahami dunia melalui indranya. Anak hanya mengenal benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak sudah dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai menggunakan simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir dihadapannya. Simbol ini kemudian berkembang menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak.
Ø  Teori Interaksionisme
Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajaran dan lingkungan bahasa. Pemerolehan bahasa itu berhubungan dengan adanya interaksi antara masukan “input” dan kemampuan internal yang dimiliki pembelajar. Setiap anak sudah memiliki LAD sejak lahir. Namun, tanpa ada masukan yang sesuai tidak mungkin anak dapat menguasai bahasa tertentu secara otomatis.
Sebenarnya, menurut hemat penulis, faktor intern dan ekstern dalam pemerolehan bahasa pertama oleh sang anak sangat mempengaruhi. Benar jika ada teori yang mengatakan bahwa kemampuan berbahasa si anak telah ada sejak lahir (telah ada LAD). Hal ini telah dibuktikan oleh berbagai penemuan seperti yang telah dilakukan oleh Howard Gardner. Dia mengatakan bahwa sejak lahir anak telah dibekali berbagai kecerdasan. Salah satu kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan berbahasa (Campbel, dkk., 2006: 2-3). Akan tetapi, yang tidak dapat dilupakan adalah lingkungan juga faktor yang memperngaruhi kemampuan berbahasa si anak. Banyak penemuan yang telah membuktikan hal ini.






















5.  Konsep pembelajaran bahasa kedua

A.    Pendekatan, metode dan teknik
Pendekatan adalah suatu aksioma, sesuatu yang baku, dan tidak dapat lagi dibantah akan kebenarannya. Pendekatan terdiri dari serangkaian asumsi mengenai hakikat bahasa dan pengajaran bahasa serta belajar bahasa.
Metode adalah satu rancangan menyeluruh untuk menyajikan secara teratur bahan-bahan, tak ada bagian-bagian yang saling bertentangan dan semuanya berdasarkan pada asumsi pendekatan.
Teknik adalah usaha pemenuhan akan metode dalam pelaksanaan pengajaran bahasa dalam kelas. Teknik merupakan satu kecerdikan (yang baik), satu siasat atau satu ikhtiyar yang dipergunakan untuk memenuhi tujuan secara langsung.
Dalam pendekatan belajar bahasa kedua, Hakuta dan Cancino (1977) yang dikutip oleh Hamied (1987: 28) membedakan 4 pendekatan agar proses belajar bahasa kedua berhasil. Pendekata dimaksud adalah
Ø  analisis kontrastif,
Ø  analisis kesalahan,
Ø   analisis performasi
Ø   analisis wacana .

Analisis kontrastif dilaksanakan dengan cara membandingkan secara sistematis ciri-ciri linguistik yang spesifik pada dua bahasa atau lebih. Pendekatan analisis kontrastif membandingkan persamaam dan perbedaan yang terdapat pada dua bahasa atau lebih yang dikontraskan. Berdasarkan perbandingan itu ditemukan unsur yang susah dipelajari si terdidik. Unsur-unsur yang berbeda dikemudiankan dalam proses belajar-mengajar. Analisis kontrastif muncul karena adanya kenyataan si terdidik yang mempelajari bahasa yang bukan bahasa ibunya. Para penganut analisis kontrastif mengasumsikan bahwa bahasa ibu mempengaruhi si terdidik ketika ia mempalajari bahasa kedua (Wilkins, 1972: 197).

Analisis kesalahan (error analysis) memusatkan perhatian pada proses belajar bahasa kedua. Pada waktu si terdidik mempelajari bahasa kedua, terjadi banyak penyimpangan. Penyimpangan itu dianalisis, baik yang berhubungan dengan penyebabnya, daerah linguistik mana yang menyimpang dan sifat penyimpangan. Dengan kata lain analisis penyimpangan adalah suatu teknik untuk mengidentifikasikan, mengklasifikasikan dan menginterpretasikan secara sistematis kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh si terdidik yang sedang belajar bahasa asingatau bahasa kedua dengan menggunakanteori-teori dan prosedur-prosedur berdasarkan linguistik (Ruru dan Ruru, 1985: 2).

Analisis performasi memusatkan perhatian padatingkah laku belajar bahasa kedua secara keseluruhan. Pendekatanya bersifat prosedural dengan megajukan pertanyaan, masalah apa yang boleh dan tidak boleh diperbuat oleh si terdidik yang belajar bahasa kedua. Pada analisis performansi ini, bukan penyimpangan atau kesalahan si terdidik yang diperhatikan tetapi tingkah laku berbahasa. Tentu saja performansi terjadi penyimpangan-penyimpangan karena performansi juga tergantung pada kompetensi dan fektor lingkungan. Kadang-kadang si terdidika tidak merasa menyimpang dalam performansinya karena apa yang ia gunakan, digunakan pula oleh orang terdekat yang biasa kita sebut anutan masuarakat. Contoh yang jelas adalah kata daripada. Si terdidik yang mengatakan, “pendapatan daripada petani meningkat”, tidak terasa penggunaan kata daripada dalam konteks ini salah, mengapa? Ia tidak merasa bersalahkarena umum sudah biasa menggunakan konstruksi seperti itu

Akhirnya dalam analisis analisis wacana, pusat perhatian ditujukan dalam penggunaan bahasa dalam percakapan. Dalam percakapan, bukan kalimat yang dianggap satuan tertinggi, tapi wacana, yakni satuan-satuan berupa kalimat yang secara koherensif berisi suatu satuan inti dan beberapa pesan periperal. Dalil dasar analisis wacana adalah studi bahasa dalam konteks akan memberikan wawasan yang lebih dalam terhadap makna itu dikaitkan dengan tuturan

Analisis kontrastif menjadikan si terdidik mengetahui perbedaan dan persamaan bahasa yang sedang dipelajarinya dengan bahasa yang telah dikuasaianya. Unsur yang sama dipelajari terlebih dahulu, sedang unsur-unsur yang berbeda dikemudiankan. Unsur yang mudah dipelajari lebih dulu karena lebih mudah. Analisis kesalahan membuat si terdidik mengetahui kesalahan yang dibuatnya. Berdasarkan pengenalan itu si terdidik diharapkan tidak mengulangi kesalahannya. Analisis performansi mengharuskan si terdidik menentukan nama bentuk yang tidak gramatikal dan mana yang gramatikal. Tingkah laku si terdidik akan berubah kalau ia mengetahui bahwa bentuk yang digunakan adalah tidak gramatikal. Akhirnya analisis wacana mengisyaratkan agar si terdidik memperhatikan wacana yang ia gunakan. Dalam kaitan ini situasi turut menentukan. Si terdidik belajar dari wacana, apa yang harus dan tidak harus dalam percakapannya.

6. Metode Penelitian Dalam Akuisisi Bahasa Kedua
Bagian ini akan dibahas bagaimana/ cara-cara memperoleh informasi tentang akuisisi bahasa kedua pada anak-anak. Berturut-turut akan dibahas,
Ø  metode penelitian tentang proses akuisisi bahasa kedua.
Ø  studi tentang penilaian akuisisi bahasa kedua, dan
Ø  kajian penilaian mengenai kedayagunaan billingual.

Metode Penelitian Tentang Proses Akuisisi Bahasa Kedua
Banyak cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan penelitian tentang proses akuisisi yang terjadi pada anak-anak. Salah satu cara yang dapat digunakan yakni, mengadakan observasi dengan cara menggunakan buku catatan harian (diary methode). Metode ini digunakan untuk anak-anak yang sejak kecil telah hidupdalam dua lingkungan bahasa yang berbeda. Metode ini banyak digunakan pada anak-anak karena ujaran mereka masih sederhana dan itruan-tiruan bahasa yang mereka lakukan masih mudah dibentuk.

Raven (1974) dan Wode (1978), misaknya mengambil secara sistemtis sampel bahasa kemudian sampel itu diujikan dalam konstruksiyang pas seperti bentuk tidak dan bentuk Tanya
Metode lain yang dapat digunakan adalahstudi kasus longitudinal (longitudinal case-study). Metode ini dibatasi pada bebeapa subyek yang secara khusus dipelajari pada waktu tertentu. Oleh karena metode ini penggunaanya terbatas, maka para sarjana mengusahakan metode lainyang disebut metode lintas seksional (cross-sectionally). Metde ini digunakan untuk menentukan bagaimana keanekaragaman bentuk itu ada dalam pola-pola umum akuisisi ketika anak-anak diuji pada tataran-tataran yang berbeda dalam perkembangan bahasa mereka. Dua aspek dalam ponelitian yang menggunakan cara ini, yakni yang berkaitan dengan morfem dan analisis kesalahan. Anak-anak didengar tuturannya lalu dianalisis kesalahan yang mereka tuturkan.

Kajian morfem didasarkan pada penelitian Brown (1973) yang menemukan bahwa anak-anak yang mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa pertama mengikuti aturan yang umum dalam mengakuisisi 14 kategori bahasa. Kategori kata dimaksud, misalnya kata benda, infleksi kata kerja, kata sandang, kata-kata bantu, kata penghubung dan kata depan. Hal yang sama juga telah ditunjukkan pula oleh Dulay dan Burt (1973, 1974) yang menemukan anak-anak yang memepelajari bahasa kedua mengikuti urutan perkembangan yang sama. Pada penelitian lain Dulay dan Burt (1974) membandingakan akuisisis bahasa anak yang berbicara dalam bahasa cina dan spanyol yang menggunakan kategori kata dalam bahasa inggris untuk menentukan mana urutan yangberterima pada anak-anak yang memiliki latar belakang linguistik yang berbeda. Mereka mencatat bahwa ada kesamaan tingkat tinggi dalam lintas kelompok bahasa itu. Kajia ini dapat ditafsirkan sebagai sumbangan dan bahwa mekanisme kognitif universal merupakandasar untuk organisasi bahasa sasaran anak

Kajian morfem banyak mendapat kritikan dari berbagai segi, terutama yang berhubungan dengan alat yang digunakan. Poster (1977) telah mencoba pula Pengukuran Sintaksis Billingual pada anak-anak Inggris yang eka-bahasa. Poster menemukan bahwa anak-anak itu menunjukkan urutan akuisisi yang mirip dengan anak-anak yang mempelajari bahasa kedua. Hal ini berbeda dengan apa yang ditunjukkan oleh Brown (1973). Selanjutnya penemuan-penemuan dalam kajian morfem tidak berhubungan dengan urutan akuisisi, tapi lebih berhubungan dengan ketelitian dalam menggunakannya karena kajian-kajian itu lintas-seksional dalam mengukur presentase waktu yang menggunakan morfem secara benar dalam konteks-konteks yang wajib.
Banyak studi longitudinal yang telah menghasilkan urutan akuisisi yang tidak berhubungan dengan urutan ketelitian penggunaan penelitian lintas-seksional. Kemungkinan lain, yakni anak-anak yang belajar bahasa pertama memegang peranan penting dalam menentukan urutan akuisisi bahasa ketika mereka mempelajari morfem bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Hakuta dan Cancino (1977) menyatakan bahwa keruwetan semantik morfem dapat menentukan perbedaan akuisisi anak-anak pembicara bahasa pertama. Mereka menunjukkan bahwa pembicara bahasa pertama yangb belajar bahasa keduatidak membuat perbedaan-pebedaan semantik seperti bahasa sasaran, kesulitannya banyak dalam menggunakan morfem-morfem yangmuncul dari pada si terdidik pembicara bahasa pertama yang membuat perbedaan-perbedaan semantik.

B. Teori-teori pembelajaran
1. Teori Stimulus-Respon
a) Teori Pembiasan Klasik Dari Pavlov
Pavlov beranggapan bahwa pembelajaran merupakan rangkaian panjang dari respon-respon yang dibiasakan
b) Teori Penghubung dari Thorndike
Thorndike berpendapat bahwa pembelajaran merupakan suatu proses menghubung-hubungkan di dalam sistem saraf dan tidak ada hubungannya dengan insight atau pengertian.
c) Teori Kesegaran Dari Guthries
Guthries berpendapat bahwa pembelajaran tidak berlangsung perlahan-lahan atau berangsur-angsur tapi secara coba-tunggal (single-trial)
d) Teori Pembiasaan Operant Skinner
Pembelajaran menurut teori ini adalah perubahan sesuatu tindak balas yang dikehendaki. Proses pembelajan akan menghaslkan tindak-balas yang baru.
e) Teori Pengurangan Dorongan Dari Hull
Menurutnya, pembelajaran itu bergantung pada pengukuhan utama dan pengukuhan kedua meskipun kekuatan suatu respon tergantung pada peringkat dorongan pada saat tertentu.
f) Teori Dua Faktor Pada Otak Manusia
Mouwer yakin bahwa, pembiasaan emosi pengharapan dan ketakutan merupakan kunci proses pembelajaran. Emosi-emosi inilah yang berperan sebagai rangsangan mediasi atau penengah yang mampu merangsang individu untuk bertindak atau memberikan respons.




 2. Teori-Teori Kognitif
a) Teori Behaviorisme Purposif dari Tolman
Bagi Tolman, pembelajaran terjadi karena subyek membawa harapan-harapan tertentu kedalam situasi pembelajaran. Berdasarkan prinsip ini, proses pembelajaran akan lebih efektif apabila pelajar mamapu mengenal tujuan yang akan dicapainya dan selanjutnya mampu mengarahkan perilaku belajarnya ke tujuan tersebut.
b) Teori Medan Gestalt Dari Wertheirmer
Pembelajaran merupakan suatu fenomena yang bersifat kognitif yang melibatkan persepsi terhadap suatu benda, orang atau peristiwa dalam cara-cara yang lain.
c) Teori Medan dari Lewin
Lewin menerapkan konsep ruang penghidupan yang terdiri dari: 1) diri sendiri, 2) lingkungan perilaku orang itu.
d) Teori Pengembangan Kognitif dari Piaget
Proses belajar terdiri dari 1) asimilasi, 2) akomodasi dan 3) equilibrasi
e) Teori Genetik dari Chomsky
Teori genetik kognitif ini didasarkan pada satu hipotesis yang disebut hipotesis nurani. Hipotesis ini menyatakan bahwa otak manusia dipersiapkan secara genetik untuk berbahasa. Untuk itu otak manusia telah dilengkapi dengan struktur bahasa universal dan apa yang disebut (language acquistion device) LAD.

7. Pembelajaran Struktur Dan Fungsi Bahasa
a) Struktur Bahasa
1) Tata Bahasa
Menurut teori linguistik, generatif-transformasi setiap tata bahasa suatu bahasa terdiri dari 3 komponen, yaitu: komponen fonologi, sintaksis dan semantik. Namun untuk bisa memahami ketiga komponen itu perlu diketahui dulu kosep struktur dalam dan konsep luar.

2) Struktur Dalam Dan Struktur Luartruktur dalam adalah struktur kalimat itu secara abstrak yang berada di dalam otak penutur sebelum kalimat itu diucapkan. Sedangkan strktur luar adalah struktur klimat itu ketika diucapkan yang dapat kita dengar.

8.  Komponen Tata Bahasa
(a) Komponen Semantik
Faktor-faktor yang mempengaruhi makna dalam suatu kalimat antara lain:
*    Makna leksikal, kata yang membentuk kalimat
*    Urutan kata dalam organisasi kalimat
*      Intonasi
*      Konteks situasi kalimat itu diucapkan
*      Kalimat sebelum dan sesudah

(b) komponen sintaksis
Sintaksis adalah urutan dan organisasi kata-kata (leksian) yang membentuk frase atau kalimat dalam suatu bahasa menurut aturan atau rumus dalam bahasa itu.

(c) Komponen Fonologi
Fonologi adalah sistem bunyi suau bahasa. Tugas komponen ini mengubah struktur luar sintaksis menjadi representasi fonetik, yaitu bunyi-bunyi bahasa yang kita dengar yang diucapkan oleh penutur

b) Fungsi bahasa
1) Fungsi umum
Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial;
2) Fungsi khusus
Menurut Jakobson, fungsi bahasa terdiri dari:
(a) Fungsi emotif
(b) Fungsi puitik
(c) Dll.

Menurut Dell Hymnes, fungsi bahasa antara lain:
(a) Untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma social
(b) Untuk menyampaikan pengalaman
(c) Untuk mengatur kontak social
(d) Untuk mengatur perilaku atau perasaan diri sendiri
(e) Untuk mengatur perilaku atau perasaan orang lain.
















BAB III
Kesimpulan
Pemerolehan bahasa pertama adalah proses penguasaan bahasa pertama oleh si anak. Selama penguasaan bahasa pertama ini, terdapat dua proses yang terlibat, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini tentu saja diperoleh oleh anak secara tidak sadar.
Ada beberapa tahap yang dilalui oleh sang anak selama memperoleh bahasa pertama. Tahap yang dimaksud adalah vokalisasi bunyi, tahap satu-kata atau holofrastis, tahap dua-kata, tahap dua-kata, ujaran telegrafis. Selain tahap pemerolehan bahsa seperti yang telah disebutkan ini, ada juga para ahli bahasa, seperti Aitchison mengemukakan beberapa tahap pemerolehan bahasa anak. Tahap-tahap yang dia maksud adalah mendengkur, meraban, pola intonasi, tuturan satu kata, tuturan dua kata, infleksi kata, bentuk tanya dan bentuk ingkar, konstruksi yang jarang atau kompleks, tuturan yang matang. Meskipun terjadi perbedaan dalam hal pembagian tahap-tahap yang dilalui oleh anak saat memperoleh bahasa pertamanya, jika dilihat secara cermat, pembahasan dalam setiap tahap pemerolehan bahasa pertama anak memiliki kesamaan, yaitu adanya proses fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik.
          Disamping memperoleh bahasa pertama juga memperoleh bahasa kedua yang teorinya lebih kepada tekhnik struktur dan fungsi bahasa beserta komponen komponen lainnya dan komponen komponen tersebut telah kami paparkan dalam uraian sederhana makalah kami.





Daftar Pustaka
Baradja, M.F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa. Malang: IKIP
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik:Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.
Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama.
Internet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar